Sejarah Kota Binjai Yang Menjadi Cagar Budaya
Sejarah Kota Binjai – Binjai merupakan salah satu kota di Provinsi Sumatera utara, yang letaknya 22 km di sebelah barat Kota Medan. Binjai merupakan ibukota Kabupaten Langkat yang sekarang pindah di stabat.
Dulunya Kota Binjai disebut sebagai sebuah kota yang terletak di antara Sungai Mencirim (sebelah timur) dan Sungai Bingai (sebelah barat). Terletak di antara dua kerajaan Melayu yakni Kesultanan Deli dan Kerajaan Langkat. Menurut para leluhur baik yang dikisahkan maupun yang diriwayatkan dalam berbagai tulisan yang pernah dijumpai. Binjai merupakan kota yang berasal dari sebuah kampung kecil terletak di pinggir Sungai Bingai. (Mangifera caesia) tempat di lakukannya Upacara adat dalam rangka pembukaan Kampung tersebut, di lakukan di bawah sebatang pohon Binjaiyang rindang yang batangnya sangat besar. Yang kemudian di sekitar pohon ini di bangun rumah-rumah yang seiring berjalannya waktu menjadi rumah yang besar, dan luas. Sekarang sudah berkembang menjadi bandar atau pelabuhan.
Asal nama Binjai adalah kata baku dari Binjei, yang mana kata Ben dan i-jei artinya adalah bermalam disini (dalam bahasa karo). Inilah yang di percaya oleh sebagian masyarakat binjai. Bahwa Kota Binjai merupakan sebuah perkampungan sebagai jalur lewatnya pedagang yang membawa barangnya dari dataran tinggi karo. Untuk di tukarkan dengan pedagang garam di pesisir langkat (dalam bahasa karo di sebut perlanja sira).
Sejarah Kota Binjai
Tahun 1823, di catatannya John Anderson ada sebuah kampung “Ba Bingai” saat dirinya ke pesisir Sumatra timur di utus oleh Gubernur Inggris yang berkedudukan di pulau Penang. Sejak tahun 1822, Binjai sudah dijadikan bandar/pelabuhan dan tahun 1864, Daerah Deli dicoba ditanami tembakau oleh J. Nienkyis yang membantu didirikannya Deli Maatschappij di tahun 1866. Orang Belanda ingin menguasai Tanah Deli menggunakan politik pecah belah melalui pengangkatan datuk-datuk. Di bawah kepemimpinan Datuk Sunggal bersama rakyatnya di Timbang Langkat (Binjai) membuat benteng pertahanan untuk menghadapi Belanda.
Belanda merasa terhina dan memerintahkan kapten Koops untuk menumpas para datuk yang menentang Belanda. 17 Mei 1872 terjadilah pertempuran yang sengit antara Datuk dan masyarakat dengan Belanda. Peristiwa perlawanan inilah yang menjadi tonggak sejarah yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kota Binjai. Perjuangan para datuk dan rakyat terus berkobar. Pada 24 Oktober 1872 Datuk Jalil, Datuk Kocik, dan Suling Barat dapat ditangkap Belanda. Lalu pada tahun 1873 mereka dibuang ke Cilacap. Pada tahun 1917 Instelling Ordonantie No.12 dimana Binjai dijadikan Gemeente oleh pemerintah Belanda dengan luas 267 Hektare.
Di tahun 1942-1945 Binjai dibawah Pemerintahan Jepang dengan kepala pemerintahan Kagujawa (sebutan Guserbu). Di tahun 1944-1945 pemerintahan kota dipimpin oleh ketua Dewan Eksekutif bernama J. Runnanbi dengan anggota Dr. RM Djulham, Tan Hong Poh. dan Natangsa Sembiring. Pada 29 Oktober 1945, T. Amir Hamzah diangkat menjadi residen Langkat oleh komite nasional. Tahun 1947 masa kedudukan belanda Binjai berada di bawah Asisten Residen J. Bunger dan RM. Ibnu sebagai Wakil Wali Kota Binjai.
Kemudian ditahun 1948 hingga 1950 pemerintahan Kota Binjai dipegang oleh ASC More. Binjai menjadi kota Administratif kabupaten Langkat tahun 1950-1956. Wali kota adalah OK Salamuddin kemudian T. Ubaidullah di Tahun 1953-1956. Kota Binjai menjadi otonom dengan wali kota pertama SS Parumuhan ini berdasarkan UU Darurat No 9 Tahun 1956.